Sejarah Aqiqah – Kelahiran buah hati tentu saja jadi kebahagiaan yang tidak terhingga untuk orangtua. Nah, sebagai bentuk ungkapan atau rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran bayi ke dunia, biasanya orang tua menggelar acara aqiqah. Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah aqiqah ini?
Aqiqah berasal dari bahasa Arab yang berarti sebagai penyembelihan terhadap binatang (domba atau kambing). Sebagai wujud rasa syukur dari orang tua atas lahirnya sang buah hati.
Bagaimana Sejarah Aqiqah dalam Syariat Islam?
Masyarakat Arab Jahiliyah punya kebiasan unik untuk merayakan kebahagiaan. Ya, mereka bakal memotong hewan saat memasuki bulan Rajab yang selanjutnya dinamakan dengan rajabiyah. Lalu menyembelih kambing untuk kelahiran anak pertamanya yang disebut athirah, dan juga memotong kambing untuk kelahiran anak laki-laki yang dinamakan sebagai akikah.
Ketiga tradisi di atas jadi seperti perayaan suka cita terhadap hadirnya kebahagiaan yang dilakukan oleh masyarakat Arab sebelum Islam datang. Dari ke-3 kebiasan itu, akikah jadi prosesi yang sekarang ini masih terus dilaksanakan oleh umat Islam bukan mayoritas ulama mewajibkan untuk melakukannya. Akan tetapi, akikah yang dilaksanakan oleh masyarakat Arab Jahiliyah ini tentu saja tidak sama dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Tentunya, perbedaan itu tak lepas dari tugas Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak umatnya, Mengingat akikah sebelum datangnya Islam terdapat hal yang kurang baik di dalamnya.
Baca juga : Mengenal Hari Keluarga dan Melaksanakan Aqiqah Keluarga Indonesia
Pada zaman dahulu, domba atau kambing yang disembelih oleh masyarakat Arab Jahiliyah pada saat akikah hanya diperuntukkan kepada bayi laki-laki saja. Akan tetapi, sesudah kedatangan Islam, maka akikah dianjurkan juga untuk bayi perempuan yang lahir. Perbedaan lainnya juga terdapat pada jumlah kambing yang dipotong yakni 2 untuk bayi laki-laki. Sementara itu untuk bayi perempuan 1 ekor saja.
Selain itu, masyarakat Arab Jahiliyah juga membasuhkan darah kambing yang dipotong tersebut ke tubuh bayi yang diakikahkan. Mereka pun mencukur rambut sanga bayi, sekaligus membasuhnya menggunakan darah sebagai wujud suka cita karena lahirnya bayi.
Penyempurnaan Oleh Rasulullah SAW
Hal tersebut yang kemudian disempurnakan oleh Rasulullah SAW, yaitu mengganti darah dengan memakai air bunga kurma atau minyak wangi. Terkait sejarah aqiqah ini, Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Budairah, yang bunyinya kurang lebih, “Zaman dulu saat masa Jahiliyah, apabila salah satu dari kami memiliki anak lelaki, maka bakal memotong kambing lalu melumuri kepalanya menggunakan darah kambing itu. Sesudah Allah SWT mendatangkan Islam, kami memotong kambing, mencukur rambut bayi itu, dan melumurinya memakai minyak wangi.”
Baca juga : Ketentuan Waktu Pelaksanaan Aqiqah yang Tepat
Di dalam riwayat lain Ibnu Hibban juga menyebutkan, “Zaman dulu orang-orang pada masa Jahiliyah jika melakukan akikah untuk bayinya, maka mereka bakal melumuri kapas menggunakan darah akikah. Kemudian saat mencukur rambut si bayi, mereka akan melumurkan darahnya di kepalanya. Maka Rasulullah SAW menyuruh mereka untuk menggantikan darah itu sambil berkata, Gantilah darah tersebut dengan menggunakan minyak wangi.”
Apa yang sudah dilakukan oleh Rasulullah SAW tersebut jadi bukti bahwa beliau tak serta merta langsung menolak terhadap tradisi yang telah ada. Namun mempertahankan yang baik lalu mengganti yang buruk.
Demikianlah kiranya sejarah aqiqah ini. Menyembelih hewan adalah tradisi baik lantaran sebagai bentuk ungkapan syukur atas nikmat Allah SWT, sehingga patut dipertahankan. Tetapi, melumuri bayi menggunakan darah merupakan perbuatan yang tidak baik, sehingga Rasulullah mengganti dengan minyak wangi. Seperti itulah keindahan akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW di dalam menyikapi suatu tradisi.